JANGAN KHUATIR: HIDUP TIDAK SELALU SEMPURNA

BILA ALLAH UJI KITA :  JANGAN KHUATIR: HIDUP TIDAK SELALU SEMPURNA, TAPI JUGA TIDAK SELALU BURUK Suatu Analisis Tasauf Moden Berinspirasikan al-Futūḥāt al-Makkiyyah Pendahuluan: Keresahan Manusia dan Krisis Makna Moden Manusia moden hidup dalam zaman yang penuh paradoks. Dari sudut material, kemudahan hidup semakin bertambah; teknologi mempercepat komunikasi, perubatan memanjangkan usia, dan maklumat tersedia tanpa batas. Namun pada masa yang sama, kadar keresahan, kebimbangan, kemurungan, dan gangguan jiwa meningkat secara drastik. Fenomena ini menunjukkan bahawa masalah utama manusia bukan lagi sekadar kekurangan fizikal, tetapi krisis makna dan ketenangan batin. Dalam konteks inilah tasauf—khususnya pendekatan Ibn ‘Arabi dalam al-Futūḥāt al-Makkiyyah—menawarkan kerangka kefahaman yang sangat relevan. Tasauf tidak melihat kebimbangan sebagai kelemahan semata-mata, tetapi sebagai isyarat wujudnya jarak antara hati manusia dengan hakikat tawakal dan pengenalan kepada Allah (ma‘rifa...

HARI KE 36 : LAJUNYA MASA BERLALU TIBA2 AKU DAH TUA

HARI KE 36 : LAJUNYA MASA BERLALU TIBA2 AKU DAH TUA

Renungan di Ambang Senja

Aku termenung. Aku terduduk seorang diri, menyaksikan detik-detik waktu bergerak laju. Setahun terasa seperti sebulan. Sebulan bagai beberapa hari. Sehari berlalu hanya seperti beberapa jam. Aku tersentak, tiba-tiba usiaku sudah menghampiri lima puluh tahun. Rambut yang dahulu hitam legam kini mulai dihiasi uban. Tubuh yang dulu gagah kini mulai mengadu, sakit di sini, sengal di sana. Terkadang, rasanya seperti usia delapan puluh tahun. Di tengah pusaran waktu yang menderu ini, jiwa ini meronta, mencari makna, mencari cahaya


Analisis Psikospiritual Futuhat al-Makkiyyah: Menyelami Samudera Makrifat di Tengah Renungan Usia dan Waktu

Pendahuluan

. Di sinilah, Futuhat al-Makkiyyah, mahakarya agung Ibnu 'Arabi, hadir bukan sekadar sebagai teks, tetapi sebagai samudera penyelamat bagi jiwa yang haus akan hakikat.

Futuhat al-Makkiyyah (Pengetahuan-pengetahuan Pembuka dari Mekah) bukanlah buku biasa. Ia adalah sebuah jagad raya ilmu, hikmah, dan pengalaman spiritual yang diturunkan langsung ke dalam qalbu Sang Syeh al-Akbar. Dalam konteks psikospiritual, Futuhat menawarkan sebuah peta perjalanan menuju Allah—sebuah psikologi transpersonal yang mendalam yang mengajak kita untuk mentransendensi ego (nafs) dan menyelami hakikat diri sejati (roh) yang bersatu dengan Sang Pencipta. Analisis ini akan menyelami aspek psikospiritual Futuhat, diperkuat dengan hujah Al-Quran, Hadis, serta perspektif ulama tasawuf, diakhiri dengan refleksi diri dan doa di tengah renungan atas singkatnya usia.

Konsep Psikospiritual dalam Futuhat al-Makkiyyah

1. Psikologi Nafs (Jiwa) dan Maratibnya:

 Ibnu 'Arabi secara detail menggambarkan perjalanan jiwa melalui berbagai tingkatan (maratib). Dimulai dari An-Nafs al-Ammarah (jiwa yang menyuruh pada keburukan), jiwa yang dikuasai hawa nafsu dan identitas ego semata. Pada tahap ini, manusia terikat pada ilusi duniawi dan merasa diri terpisah dari Tuhan. Kesedihan akan penuaan dan penyakit begitu menyiksa karena keterikatan pada bentuk fizikal. Kemudian naik ke An-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang mencelà), jiwa yang sudah mulai sadar dan menyesali kesalahan. 

Renungan kita tentang "cepatnya masa" adalah manifestasi dari tahap ini—sebuah teguran dalaman. Puncaknya adalah An-Nafs al-Muthma'innah (jiwa yang tenang). Jiwa inilah yang mencapai makrifat, yang telah kembali kepada Tuhan dalam keadaan reda dan damai. Futuhat mengajarkan bahwa sakit, tua, dan putihnya rambut adalah proses alami untuk menggugurkan cangkang nafs ammarah, agar jiwa yang muthma'innah dapat bersinar.

2. Penyucian Qalbu (Tazkiyatun Nafs): 

Jantung dari perjalanan psikospiritual dalam Futuhat adalah penyucian qalbu. Qalbu bukan sekadar hati fizikal, tetapi pusat kesedaran spiritual. Qalbu yang kotor diliputi karat (akhlak madzmumah) seperti riak, sombong, dan cinta dunia, akan menghalangi cahaya Ilahi. Futuhat menekankan pada mujahadah (perjuangan spiritual) dan riyadhah (latihan spiritual) untuk membersihkan qalbu ini. 

Setiap detik waktu yang berlalu seharusnya diisi dengan proses pensucian ini. Kesakitan di usia senja, dalam lensa ini, adalah "pisau tarbiyah" Tuhan untuk mengikis sifat-sifat buruk dalam diri kita.

3. Penyatuan dengan Realiti Mutlak (Wahdatul Wujud): 

Konsep yang paling banyak dibincang dan sering disalahfahami ini, dalam analisis psikospiritual, adalah puncak kesehatan mental dan kedamaian jiwa. Ia bukan penyatuan fizikal, tetapi kesedaran bahawa segala wujud, termasuk diri kita, adalah manifestasi (tajalli) Asma dan Sifat Allah. Ketika seorang hamba mencapai makrifat, dia menyedari bahawa "aku"-nya yang sementara ini hanyalah bayang-bayang daripada "AKU" Yang Kekal. Oleh itu, ketakutan akan kematian, kesedihan akan usia, dan kegelisahan akan penyakit, mulai pupus. Yang ada hanyalah penyaksian (musyahadah) terhadap Keagungan Tuhan dalam setiap bentuk dan keadaan. Usia 50 tahun yang mendatang bukan lagi ancaman, tetapi sebuah pintu untuk semakin dekat dan mengenal-Nya.

Hujah dari Al-Quran

1. Surah Al-Hadid (57): 20:
   "Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keredhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu."

   Refleksi: 
Ayat ini adalah penegasan terhadap renungan kita. Dunia, termasuk tubuh fizikal kita yang semakin tua, adalah sementara. Kekaguman kita pada kekuatan muda adalah seperti kekaguman petani pada tanaman yang hijau, yang pasti akan layu. Futuhat mengajak kita untuk tidak tertipu oleh "kesenangan yang menipu" ini dan beralih kepada sesuatu yang kekal, iaitu ampunan dan keredhaan Allah.

2. Surah Al-Isra' (17): 85:
   "Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit."

   Refleksi: 
Futuhat al-Makkiyyah adalah sebuah eksplorasi mendalam tentang "urusan Tuhanku" ini. Psikospiritual Ibnu 'Arabi mengajak kita menyelami misteri roh kita sendiri, yang merupakan cahaya Ilahi. Penuaan dan penyakit adalah proses yang dialami jasad, bukan roh. Dengan fokus pada penyucian roh, kita tidak akan terlalu risau dengan keruntuhan jasad.

3. Surah Qaf (50): 16:
   "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya."

   Refleksi: 
Ayat ini adalah dasar bagi konsep kesedaran dan musyahadah. Kedekatan Allah yang lebih dari urat leher ini adalah realiti yang ditemui dalam perjalanan makrifat. Dalam kesakitan dan kepiluän usia, seorang 'arif tidak merasa sendirian. Dia merasakan kehadiran Allah yang begitu dekat, menjadi penawar dan penenang bagi segala keluh kesah.

Hujah dari Hadis Sahih

1. Hadis Riwayat Bukhari:
   "Orang yang cerdik ialah orang yang mengoreksi dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah ialah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan terhadap Allah."

   Refleksi: 
Hadis ini adalah landasan etos perjalanan psikospiritual. Renungan tentang cepatnya waktu harus membawa kepada kecerdikan ini—muhasabah diri dan memperbanyak amal untuk bekalan di akhirat. Futuhat memberikan peta bagaimana "mengoreksi diri" secara mendalam, bukan sekadar pada level perbuatan, tetapi sampai pada level niat dan rahsia hati.

2. Hadis Riwayat Muslim:

   "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad dan rupa kamu, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal-amal kamu."

   Refleksi: Ini adalah penegasan bahawa nilai seorang manusia terletak pada hatinya (qalbu). Proses penuaan yang mengubah rupa dan melemahkan jasad sama sekali tidak mengurangi nilai kita di sisi Allah, jika qalbu kita tetap suci dan dipenuhi makrifat. Futuhat mengajarkan seni membersihkan hati inilah yang menjadi prioriti utama.

3. Hadis Riwayat Tirmidzi:

   "Rebutlah lima perkara sebelum datangnya lima perkara: Masa mudamu sebelum datang masa tuamu, masa sihatmu sebelum datang masa sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa miskinmu, masa lapangmu sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang matimu."

   Refleksi: Hadis ini adalah seruan untuk bertindak. Perasaan "sebulan seperti beberapa hari" adalah amaran untuk segera merebut sisa usia yang ada. Futuhat al-Makkiyyah memberikan bimbingan apa yang harus diamalkan—bukan amalan biasa, tetapi amalan yang penuh dengan hikmah dan kesedaran spiritual (ihsan), sehingga setiap detik yang direbut bernilai tinggi di sisi-Nya.

Perspektif Ulama Tasawuf

1. Imam Al-Ghazali (W. 1111 M): 

Dalam Ihya' 'Ulumuddin, Al-Ghazali menekankan pentingnya muhasabah an-nafs (introspeksi diri) setiap hari. Beliau menggambarkan dunia sebagai jambatan yang kita lalui, bukan tempat untuk menetap. Kerisauan kita terhadap usia dan tubuh yang menua, menurut Al-Ghazali, berpunca dari cinta dunia yang berlebihan. Futuhat sejalan dengan ini, tetapi membawa kita lebih dalam lagi: setelah menyedari dunia itu fatamorgana, kita diajak untuk menyelami Realiti Sebenar (al-Haqq) yang meliputi segala sesuatu.

2. Syeikh Jalaluddin Rumi (W. 1273 M): 

Melalui syair-syairnya, Rumi banyak menyentuh tema kematian dan penuaan sebagai sebuah "perkawinan" menuju Tuhan. Tubuh yang tua dan sakit bagaikan kelongsong yang harus pecah agar burung roh dapat terbang bebas. Penderitaan fizikal adalah undangan untuk mencari makna yang lebih dalam. Pemikiran Rumi ini adalah syair dari prosa filosofis Ibnu 'Arabi. Keduanya melihat proses penuaan bukan sebagai kemunduran, tetapi sebagai pendakian spiritual menuju kepenuhan.

3. Syeikh Abdul Qadir al-Jilani (W. 1166 M): 

Dalam Futuh al-Ghaib, Al-Jilani banyak berbicara tentang konsep fana' (penghancuran diri) dan baqa' (kekalan bersama Allah). Menurutnya, selama seseorang masih terikat dengan diri sendiri (ego), dia akan menderita. Datangnya usia tua dengan segala kelemahannya adalah proses fana' yang natural. Tugas kita adalah berserah diri (tawakkal) dan membiarkan Tuhan "membunuh" keangkuhan diri kita, agar kita dapat "hidup" bersama-Nya. Ini adalah resonansi yang kuat dengan ajaran Futuhat al-Makkiyyah.

Refleksi Diri: Di Antara Dua Masa

Renungan tentang waktu yang berlalu begitu pantas, tentang rambut yang memutih, dan tubuh yang mulai enggan diajak kompromi, adalah sebuah anugerah terselubung. Ia adalah "bangun tidur" dari kelalaian. Futuhat al-Makkiyyah mengajakku untuk membaca fenomena ini dengan mata hati.

Aku menyedari, kegelisahan ini muncul kerana selama ini aku terlalu mengidentifikasikan "diri" dengan jasad dan usia fizikal. Aku lupa bahawa "aku" yang sebenar adalah roh yang tidak pernah tua, cahaya yang tidak pernah layu. Sakit dan sengal adalah pengingat akan kefanaan jasad, sekaligus undangan untuk merawat roh.

Masa yang terasa singkat ini adalah teguran: sejauh manakah progres kerohanianku? Jika setahun terasa seperti sebulan, apakah dalam "sebulan" spiritual itu aku sudah berjaya membersihkan sedikit karat dalam hati? Apakah aku sudah melangkah dari nafs al-ammarah menuju nafs al-lawwamah, atau bahkan mendekati nafs al-muthma'innah?

Futuhat mengajarkan bahawa setiap detik adalah medan tajalli (penampakan) Tuhan. Putihnya rambut adalah tajalli sifat al-Jamil (Maha Indah) dalam bentuk yang lain. Lemahnya tubuh adalah tajalli sifat al-Qawiy (Maha Kuat), yang mengingatkan kita pada sumber kekuatan yang sebenar. Daripada meratapi yang hilang, Futuhat mengajakku untuk mensyukuri dan menyaksikan Kehadiran-Nya dalam setiap perubahan.

Aku tidak lagi ingin ditakutkan oleh angka 50. Usia itu adalah sebuah lokasi dalam perjalanan panjang menuju-Nya. Mungkin di situlah stesen untuk lebih memperlahankan langkah fizikal, dan mempercepatkan langkah hati. Mungkin di situlah masa untuk lebih banyak duduk bermunajat, berzikir, dan menyelami ilmu-Nya, berbanding mengejar hal-hal duniawi.

Doa Penutup: Sebuah Permohonan di Ambang Makrifat

Ya Allah, Ya Rabb al-'Alamin,
Dengan Nama-Mu yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Ya Allah, aku hadapkan wajah jiwa yang lemah ini kepada-Mu.
Usiaku telah panjang, tetapi amalanku pendek.
Rambutku telah memutih, tetapi hatiku masih gelap dengan kelalaian.
Tubuhku mulai lemah, tetapi nafsuku masih sering membangkang.

Ya Allah, jadikanlah renunganku atas singkatnya waktu ini sebagai pembuka hijab, bukan sebagai sumber kegelisahan.
Bimbinglah daku untuk memahami hikmah di sebalik Futuhat al-Makkiyyah, bukan sekadar dengan akal, tetapi dengan qalbu yang hidup dan basah dengan cahaya-Mu.

Ya Dzul Jalali wal Ikram,
Anugerahkanlah kepadaku:
– Qalbu yang salim, yang tenang dan rindu pada-Mu.
– Mata basirah yang mampu melihat tanda-tanda-Mu dalam setiap helaan nafas dan setiap uban yang tumbuh.
– Jiwa yang muthma'innah, yang ketika ajal menjemput, ia menyambutnya dengan senyuman kerana akan berjumpa dengan-Mu.

Jadikanlah sisa usiaku yang mungkin sebentar ini, bernilai dengan makrifat kepada-Mu.
Lembutkanlah hatiku dengan zikir kepada-Mu.
Terangilah kuburku dengan cahaya makrifat yang telah Engkau turunkan kepada wali-wali-Mu.

Ya Allah, dekatkanlah daku dengan-Mu,
Meskipun jasadku semakin tua dan lemah,
Kuatkanlah ikatanku dengan-Mu,
Meskipun dunia ini semakin menjauh.

Engkaulah tujuan akhir, dan kepada-Mu jua kami kembali.
Ameen, Ya Rabbal 'Alameen.

Kesimpulan

Futuhat al-Makkiyyah, dengan analisis psikospiritualnya, menawarkan jawapan yang mendalam terhadap kegelisahan eksistensial manusia moden tentang waktu, penuaan, dan kematian. Ia mengajak kita untuk beralih dari identiti fizikal yang fana kepada identiti spiritual yang abadi. Melalui proses penyucian qalbu dan pencapaian makrifat, seorang salik akan menyambut setiap perubahan—termasuk tua dan sakit—sebagai bagian dari proses pulang kepada Allah. Di tengah derunya waktu, Futuhat adalah mercu tanda yang membimbing kita untuk berlayar dengan tenang, menyelami samudera diri, hingga sampai ke pantai Keabadian, bertemu dengan Wajah yang selama ini kita cari dalam setiap bentuk dan detik waktu yang berlalu.


Tiga Analogi Psikospiritual Futuhat al-Makkiyyah

Analogi 1: TAMAN DAN PENJAGA TAMAN
Mengenal Diri melalui Penjagaan Jiwa

Analoginya:
Bayangkan diri anda adalah sebuah taman yang indah.Tubuh fizikal adalah pagar dan tanahnya. Pelbagai pokok, bunga dan lalang adalah pemikiran, perasaan dan kecenderungan dalam hati. Angin, hujan dan panas adalah ujian dan nikmat kehidupan. Penjaga Taman yang Mahir adalah Allah, namun Dia memberikan anda amanah untuk menjadi penjaga sementara.

Contoh:

· Rambut putih dan sakit-sakit adalah seperti musim luruh yang menggugurkan daun. Bukan kematian taman, tetapi proses alami untuk persediaan musim bunga baru yang lebih segar.
· Masa yang pantas berlalu seperti angin yang berhembus laju, mengingatkan penjaga agar segera membaja, menyiram dan mencabut lalang sebelum taman menjadi gersang.
· Futuhat al-Makkiyyah adalah buku panduan lengkap dari Pemilik Taman tentang cara mengenal setiap jenis tanaman, musim, dan cara merawatnya agar taman ini kekal subur dan harum, sehingga Pemilik Taman berkenan datang bersiar-siar di dalamnya.

Aplikasi Spiritual:
Kegelisahan terhadap penuaan timbul kerana kita fokus pada pagar yang berkarat dan tanah yang kering,lupa bahawa tugas kita adalah merawat bunga makrifat di dalamnya. Ketenangan dicapai dengan menjadi penjaga yang taat pada panduan Ilahi, bukan dengan mengutuk perubahan musim.

---

Analogi 2: MIRROR YANG BERDEBU DAN CAHAYA
Mengenal Tuhan melalui Penyucian Hati

Analoginya:
Hati manusia(qalbu) seperti sebuah cermin yang sangat jernih, yang asalnya menghadap lurus kepada Matahari Hakikat (Allah). Debu dan kotoran duniawi (hawa nafsu, cinta dunia, riak) menutupi cermin itu, sehingga cahaya-Nya tidak dapat dipantulkan dengan sempurna.

Contoh:

· Kesibukan dunia dan usia yang meningkat adalah seperti debu yang terus menerus beterbangan dan menempel pada cermin. Jika tidak kerap dibersihkan, debu akan menebal menjadi kerak.
· Perasaan masa yang singkat adalah seperti kita menyedari hari sudah petang, sedangkan cermin kita masih sangat kotor, hampir-hampir tidak dapat memantulkan cahaya lagi.
· Amalan zikir dan mujahadah dalam Futuhat adalah seperti kain lembut dan pembersih khas yang diberikan oleh Pembuat Cermin untuk mengilapkannya semula. Setiap kali kita berzikir, sebutir debu luruh.
· Makrifat adalah saat cermin itu sudah cukup bersih, sehingga dapat memantulkan cahaya Matahari Hakikat itu dengan jelas. Kita bukan menjadi Matahari, tetapi kita dapat "menampakkan" cahaya-Nya.

Aplikasi Spiritual:
Sakit dan tua adalah goncangan yang membantu menggugurkan debu-debu kesombongan.Daripada menangisi cermin yang berdebu, kita diseru untuk giat mengilap. Futuhat mengajar kita teknik mengilap yang tepat, agar tidak mencalar cermin hati.

---

Analogi 3: PERAHU MENUJU PULAU
Perjalanan Rohani dari Ego menuju Tuhan

Analoginya:
Hidup ini adalah sebuah pelayaran dengan perahu.Jasad kita adalah perahunya. Nafsu dan ego kita adalah air laut yang bergelora serta batu-batu karang yang berbahaya. Pulau Abadi (Allah) adalah destinasi akhir. Jiwa (roh) adalah nahkodanya, dan akal adalah peta dasarnya.

Contoh:

· Gelora lautan adalah godaan dan suka-duka dunia yang cuba menenggelamkan perahu.
· Batu karang adalah kesalahan syirik khafi (tersembunyi) seperti riak dan ujub, yang boleh merosakkan dasar perahu.
· Merasakan perjalanan yang terlalu laju adalah seperti nahkoda yang tersedar bahawa perahu sudah hampir sampai ke pelabuhan, tetapi dia belum menyiapkan logistik dan diri untuk mendarat.
· Futuhat al-Makkiyyah adalah "Kompeni Navigasi Samudera Makrifat" yang memberikan peta terperinci, kompas yang tepat (iman), dan panduan membaca bintang (petunjuk Ilahi). Ia mengajar nahkoda bagaimana belayar melalui gelombang, bukan melawannya, dan bagaimana mengemudikan perahu sehingga selamat sampai ke Pulau Abadi.

Aplikasi Spiritual:
Kita sering kali takut dengan gelombang besar(masalah) dan keluhan perahu yang bocor (sakit tubuh), sehingga lupa bahawa tugas nahkoda adalah menjaga hala tuju ke Pulau. Kematian bukanlah tenggelam, tetapi saat perahu kita sampai ke daratan dan kita meninggalkannya untuk menjejakkan kaki di pulau kekal nan indah.

Kesimpulan Analogi:

Ketiga-tiga analogi ini menekankan proses dan transformasi.Futuhat al-Makkiyyah tidak menafikan realiti fizikal seperti penuaan dan penyakit. Sebaliknya, ia memberikan kerangka makna yang dalam, mengubah persepsi kita dari seorang "tuan" yang kecewa atas kerosakan hartanya, menjadi seorang "penjaga sementara", "pengilap cermin", atau "nahkoda perjalanan" yang memahami misi sebenar kewujudannya. Dengan ini, setiap uban dan setiap rasa sakit menjadi penunjuk jalan, bukan lagi halangan.

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

Hari ke 2 — Ego Yang Tersembunyi

Sakit Itu Panggilan Cinta: Rahsia di Sebalik Derita

DAY 1 — Mengaku Kelemahan Diri